top of page

Blog Post

Kereta Api Berhantu

Writer's picture: zuhrufizuhrufi

Sebuah dongeng. Ditulis ulang, diambil dari majalah Bobo entah edisi berapa (kemungkinan 90an).



Mike dan Diana sedang berangkat menuju ke rumah bibi dan pamannya di Polchester. Mama sudah menengok daftar perjalanan kereta api dan memberitahu Paman Sam kapan waktunya kedua anak itu akan tiba.

“Ingat, pukul 10.42, tujuan langsung ke Polchester,” pesan Mama. “Kalian jangan salah naik.” Mike, yang berusia setahun lebih tua dibanding Diana, mencatat waktu perjalanan.

Sekarang keduanya sudah ada di peron. Mereka berdiri di dekat tas-tas bawaan. Mereka tidak perlu menunggu terlalu lama.

“Itu dia!” tunjuk Diana. Papan penunjuk listrik menyala dan terbaca tujuannya: “Polchester” dengan catatan waktu di sampingnya. Kereta itu memasuki stasiun. Mike dan Diana langsung naik ke dalam gerbong. Ketika kereta mulai berangkat lagi, mereka perhatikan masih banyak orang berdiri di peron.

“Aneh,” cetus Mike, “kupikir tadi semua orang hendak pergi ke Polchester. Wanita tua di sana bilang dia mau ke sana. Aku dengar sendiri.”

“Tak perlu panik,” sahut Diana, “kita berada di kereta yang benar. Kita telah melihat pada papan petunjuk. Ingat itu?” Kedua bocah itu duduk. Di seberang mereka ada seorang lelaki mengenakan topi sedang membaca koran, dan di sebuah pojok nampak seorang wanita sedang meneteki bayinya. Diana dan Mike melirik ke koran si lelaki dan mencoba memecahkan teka-teki di halaman belakang. Mike segera kehilangan minatnya, dan sambal menguap, memandang keluar jendela. Tiba-tiba ia meluruskan duduknya.

“Diana!” pekiknya, “kita naik kereta yang salah! Seharusnya kita sedang melintasi ujung jalan sekarang, tetapi itu tidak nampak!” Diana juga memandang keluar lewat jendela.

“Aneh sekali,” dia mencetus. “Di sana tidak ada kompleks rumah estat, tetapi itu danaunya—lihatlah!”

“Pasti itu danau yang lain,” sahut Mike. “Rumah-rumah dan jalan-jalan raya tak mungkin lenyap begitu saja!” Kereta api itu dengan laju melintasi sebuah stasiun—Berrytown.

Diana memandangi Mike dengan mata lebar. “Ini stasiun berikut setelah stasiun keberangkatan, Mike. Jadi kita pasti naik kereta yang benar.” Kedua bocah itu merasa kebingungan. Sedang terjadi sesuatu yang ganjil. Ketika mereka memandang keliling gerbong, mereka melihat sesuatu yang aneh. Nampak oleh mereka seulur tali kulit untuk membuka jendela, dan pada setiap rak terdapat foto-foto berwarna kecoklatan dan buram di dalam bingkai.

“Barangkali kita salah naik, tak sengaja ikut sebuah kereta istimewa dengan model lama,” tukas Mike. Dia menarik napas panjang. Terasa hatinya lega. “Ya, pasti itu jawabannya.”

“Hmm… tetapi kereta model kuno tidak membikin jalanan dan rumah-rumah menjadi lenyap!” jawab Diana. Dia melonjorkan muka untuk mengajak bicara pria yang sedang membaca koran.

“Maaf, Tuan,” dia mulai, “saya heran jika…”

Tetapi lelaki itu sama sekali tak mengacuhkannya.

“Oh betapa tak tahu adat orang itu," Diana mendengus.

Seseorang membuka pintu geser dari lorong.

“Karcis,” teriak kondektur.

Mike mengeluarkan dua tiket dan mengangsurkannya, tetapi kondektur tidak mengacuhkannya. Lelaki di balik koran mengangsurkan tangan yang menggenggam tiket, tanpa peduli merendahkan korannya.

“Terima kasih, Tuan,” ujar kondektur. “Terima kasih, Nyonya,” dia mengucap ketika wanita Bersama bayinya memperlihatkan karcis.

Diana menjawil Mike.

“Kaulihatkah tiket-tiket mereka? Nampaknya tidak seperti biasa. Kecil dan berwarna hijau, seperti dari karton. Semuanya Nampak ganjil. Kondektur seperti tidak melihat kita. Dan lihat, kita baru saja melewati Persilangan Siddlecombe, --harusnya kita bisa melihat jalan—tetapi kenapa tidak?”

Diana sedang mempelajari bagian belakang koran si lelaki lagi. Pada bagian atas, tepat di bawah logo koran tertulis sebuah tanggal “15 Juni 1948,” bacanya. Dia mencengkeram tangan Mike.

“Mike! Kita sedang masuk ke masa silam! Kita sedang naik kereta yang pernah melewati jalanan ini empat puluh tahun lalu!”

Mike tidak ingin mempercayainya, sebab dia jenis manusia yang serba praktis, tetapi tanggal itu mengingatkannya pada sesuatu…

Kedua anak-anak duduk membisu, jantung mereka berdetak keras. Mereka mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi pada tanggal 15 Juni 1948.

Wajah Diana tiba-tiba menjadi pasi.

“Mike,” desisnya, dengan suara rendah, “sekarang aku ingat. Ketika kelas kami sedang melakukan sebuah proyek sejarah, kami temukan kisah tentang tabrakan kereta api di jalur ini. Aku membacanya di perpustakaan setempat. Rangkaian kereta api tujuan Polchester menubruk bagian belakang rangkaian kereta lain di luar stasiun Polchester… sebagian besar penumpang tewas atau cedera berat…” Mike bangkit.

“Tarik rem darurat!” dia memekik. “Kita harus segera keluar!”

Diana berdiri di atas tempat duduknya dan menarik tali rem darurat. Tidak terjadi apa-apa. Kereta terus melaju. Pria dengan surat kabar membalik satu halaman dan menengadah. Wanita di sampingnya terus saja membuai bayinya.

Diana berusaha membuka jendela. Dia menyentak keras tali kulit, dan aneh sekali… jendela pun terbuka lebar. Sehembus angina kencang masuk dan membangunkan si bayi, yang lalu menangis kencang. Si lelaki merendahkan korannya, mendesah marah dan menatapnya. Keasyikannya membaca terganggu. Karena merasa risih, wanita itu bangkit, meminta maaf kepada si lelaki, dan berkata bahwa ia akan pindah ke gerbong lain bersama bayinya.

Kereta terus melaju.

“Barangkali kita bisa melompat turun,” kata Mike, sambal mengintip lewat jendela, “terus kita lari ke kotak sinyal terdekat dan menghentikan kereta. Kita bisa mencegah sebuah tragedi besar, “ Diana memandangi abangnya.

“Tapi kau tak bisa mengubah yang telah terjadi,” jawabnya. Tubuh Mike gemetaran.

Mike tiba-tiba menjadi pendiam. Dia pernah membaca sebuah kisah tentang seorang gadis yang terperangkap di masa lalu, dan tewas sebelum ia bisa kembali ke masanya sendiri. Itu Cuma sebuah cerita, tetapi siapa tahu…

Kereta api melesat melintasi stasiun Stonestown, perhentian menjelang masuk Polchester. Kemudian, secara ajaib, kereta api mulai bergerak perlahan.

“Ayo kita melompat!” teriak Mike. Mereka lalu lari melintasi lorong. Membuka pintu lebar-lebar, dan “huup.”

Tubuh mereka terlontar ke udara, dan mendarat di tepian rumput di samping jalan kereta api. Kereta api itu tersentak, memacu kecepatan kembali, dan sudah Nampak jauh mengitari tikungan, meninggalkan Mike dan Diana linglung di atas tanah.

Dua hal terjadi bersamaan. Dari jalur kereta yang jauh terdengar suara benturan, bising dan menyakitkan telinga, berderak-derak, tetapi segera tertutup oleh suara raungan sebuah pesawat supersonik terbang rendah. Secara naluri anak-anak itu menutup telinga dan mata mereka.

Ketika mereka membuka mata, tiba-tiba mereka sudah berada di stasiun kampung halaman mereka.

Lampu petunjuk berkedap-kedip, “Polchester”.

Ketika kereta antarkota yang besar dan berkilatan itu masuk, semua penumpang di peron naik. Mike dan Diana mengikuti mereka.

Mereka duduk di samping seorang wanita bersama seorang bocah kecil, yang melirik penuh kagum ke luar jendela.

“Dia suka bepergian naik kereta api,” kata wanita itu kepada Mike dan Diana, “melebihi kesukaanku. Aku hampir tewas dalam sebuah tabrakan, pada jalur ini juga, pada tahun 1948. Waktu itu aku masih bayi. Kata Ibu, aku tersentak bangun ketika tiba-tiba jendela terbuka dengan sendirinya. Andaikata ibuku tidak pindah ke gerbong belakang, entah apa jadinya. Sebuah kecelakaan hebat, tapi tentu saja, kalian belum lahir, kan?”


(Dari: “Ghost Train”/Linda Jennings/Kadir Wong)

229 views0 comments

Recent Posts

See All

コメント


© 2018 by Zuhrufi. Proudly created with Wix.com

  • Grey Facebook Icon
  • Grey Twitter Icon
  • Grey Google+ Icon
  • Grey Instagram Icon
  • Grey LinkedIn Icon
bottom of page