top of page

Blog Post

  • Writer's picturezuhrufi

First Chapter


Serius. Jika kalian mendapat ajakan untuk pergi ke pesta dari seorang yang well–gorgeous, adorable, and has an ability to make every lady melt, sebaiknya cepat-cepat cari alasan yang tepat buat nolak. Apalagi tanpa status sama dia. Definitely not ‘pacar’. Nggak nanggung kalau kalian bakal dapat nightmare saat itu juga. Sayangnya, aku nggak dapat kesempatan apa pun untuk menghindari situasi seperti itu. Karena malam ini, saat ini, aku sedang berjalan memasuki sebuah halaman yang dipenuhi oleh siswa siswi SMA Harapan, tepat bersama Haykal.

“Udah deh, santai aja kali, gue kan udah janji sama lo.” Haykal berkata santai, terlihat begitu charming dengan jas barunya yang entah kenapa, pas dikenakan olehnya. Berasa si desainer emang merancangnya khusus buat Haykal, padahal juga baru minggu lalu beli di salah satu mall di Jakarta.

“Janji apaan lo?” tanyaku sambil menebar pandangan mencari seorang dua orang yang mungkin kukenal. Sayangnya, nggak satu pun ada wajah yang familier.

“Lo nggak bakalan nyesel deh gue ajak ke pesta ultahnya Ratu kali ini.” Haykal berkata dengan pedenya, kemudian tersenyum ketika tiga orang cewek yang berjarak sepuluh meter dari kami hendak menghampiri.

“Gue udah nyesel sekarang. Lo lihat aja mereka,” aku mengarahkan pandanganku pada ketiga cewek itu. “Tunggu aja bentar lagi, lo bakal lihat gue jadi ikan yang masuk ke sarang predator-predator lapar yang udah nggak makan selama sebulan.”

“Udah deh, percaya sama gue.” Haykal menenangkan. Tapi aku tahu, aku benar-benar akan tercabik-cabik tanpa ada sisa tulang sedikit pun setengah jam kedepan. Err, lima belas menit mungkin udah cukup.

“Hai, Kal! Pacar lo?” Tanya si cewek bergaun merah. Cantik, tapi pandangan sinisnya padaku langsung merubah persepsi.

“Atau, gebetan lo?” Sela gadis bergaun biru yang elegan sebelum Haykal sempat menjawab.

“Eh, kenalin. Ini Nazneen. Naz, kenalin. Ini Clara, Sinta, Rebecca” Ucap Haykal mengenalkanku berturut-turut pada cewek-gaun-merah, cewek-gaun-biru, dan yang-dari-tadi-belum-ngomong-dengan-gaun-pasta. Aku hanya tersenyum, mencoba ramah.

“Haiii Naz!!” sapa mereka bertiga dengan serempak.

“Hai” jawabku diiringi senyuman, lagi.

Tiba-tiba saja Haykal meraih tanganku, menggenggamnya, dan mengaitkan jari-jarinya di sela-sela jariku.

“Eh, nitip Naz bentar ya. Gue mau ke sana dulu,” sambil melambaikan tangan kirinya yang free pada segerombolan cowok di salah satu sudut halaman. “Nggak papa, kan, Naz?”

Dasar.

“Eh, iya, nggak papa. Gue mau ambil minum dulu aja.” Jawabku benar-benar terpaksa. Gila nih si Haykal. Bener-bener diumpanin ke hiu-hiu nih aku. Sialnya, tiga cewek itu malah tersenyum kecil. Aku bisa secara jelas membaca raut wajah mereka, bersiap-siap tempur menghadapiku. Seolah-olah mereka itu adalah whale shark yang udah siap melahap mangsa bahkan tanpa perlu mengulitinya sekali pun. Emangnya hiu pake nguliti mangsanya segala, ya? Pantesan nilai bahasaku tujuh setengah. Payah.

Haykal segera melepaskan genggaman dari tanganku dan berlalu.


***


Aku meneguk untuk keempat kalinya segelas jus jeruk yang sedari tadi sepertinya nggak berkurang sedikit pun. Duduk di depan meja didampingi dengan tiga cewek menyebalkan yang sedari tadi bergosip entah apa. Sepertinya aku menjadi trending topic sesaat setelah Haykal pergi meninggalkanku. Bukannya aku percaya diri atau apa, karena setiap cewek yang berada di dekatku, bahkan sepuluh meter dari tempatku saat ini, tak sungkan untuk memandang diriku dari ujung rambut hingga ujung wedges tujuh sentiku. Entah iri entah kagum.

“Ngomong-ngomong, di mana Haykal nemuin lo?”

Aku hampir tersedak.

Si cewek bergaun pasta yang sedari tadi diam ternyata memiliki mulut setajam pedang ketika membuka mulutnya. Sial. Hampir saja aku mengeluarkan sebilah belati dari dalam tas jinjingku. Sayangnya aku nggak bawa.

“Hei, siapa namamu? Kenalin, aku Zara.” Tiba-tiba saja seorang cewek berpostur tinggi ramping berhijab manis sekali menghampiriku, mengulurkan tangannya menyapaku.

“Nazneen.” Aku membalas uluran tangannya.

“Ke sana yuk! Kamu temennya Haykal kan?” Ajak Zara sambil menunjuk ke sebuah bangku kecil yang berada di pinggir taman. Senyumnya ketika berbicara benar-benar membuatku nyaman dan membuatku menghilangkan sekecil apa pun kemungkinan sinisnya yang muncul di pikiranku. Dengan pakaian menutup aurat lengkap kayaknya nggak mungkin deh ia melakukan hal-hal nggak sopan seperti tiga cewek di dekatku.

Aku pun beranjak mengikutinya. Rebecca, Sinta, dan Clara mengikuti kepergianku dengan pandangan yang tak berubah, tetap sinis, dan merendahkan.

Byeee sarcastic girls!!


***


“Udah kenal lama sama Haykal?” Zara memulai pembicarannya dengan lembut.

“Emm, lumayan.” Jawabku dengan penuh hati-hati mengingat pesan Haykal untuk tidak buka mulut soal hubungan kami berdua.

“Mal! Sini deh!” Mendadak Zara berdiri, setengah berteriak bermaksud memanggil temannya untuk menghampiri kami yang membuat Zara teledor menjatuhkan tasnya yang berisi beberapa novel.

“Aduh, berantakan deh.” Ia berjongkok memunguti novel-novelnya yang berserakan. Aku pun ikut membantunya dan tak sengaja membaca salah satu judul novelnya.

“Ini novel Kak Zara?” Aku memungut salah satu novel berjudul Lovely Love karya Lily Aditya sembari menunjukkan covernya pada Zara.

“Wah, itu novel kesukaanku,” Zara melirik sekilas kemudian melanjutkan mengemasi novel-novelnya. “Kamu suka baca? Kalau iya, kamu harus baca novel itu!” Ia kini menatapku berbinar. Harusnya aku yang berbinar.

Menemukan orang asing yang ternyata sama-sama menyukai novel yang sekarang out of print itu seperti dua orang tersesat di planet antah berantah yang kemudian bertemu, bersyukur bisa menemukan satu sama lain yang bisa diajaknya bicara bahasa manusia.

“Kenapa Zar?”

Aku menoleh ketika seorang lelaki dengan suara seksi berdiri tepat di belakangku. Oh My God! Dia kan... temennya Haykal waktu SMP. Yang pernah aku sebut di diari dengan ‘The Most Adorable Boy, Instead of Haykal’, yang aku pernah tulis untuknya di wall facebook dengan pinjem liriknya Shania Twain ‘You don’t know how I adore you’ (tanpa nge-tag dia tentunya), yang pernah aku ambil fotonya diam-diam dari buku albumnya Haykal juga. Eh, siapa namanya?

“Minggu depan jadi, kan, masuk ke SMA Harapan?” tanya Zara.

“Yang bener aja lo, gue udah urus semua registrasi kali, Zar,” jawabnya dengan sedikit bercanda. Kemudian ia menoleh padaku.

“Eh, calon temen sekelasku nih?” lanjutnya sambil menunjuk ke arahku. Ketika Zara selesai membereskan novel-novelnya, ia berdiri dan aku mengikutinya.

“Yah, bisa dibilang gitu. Dia temannya Haykal. Lo masih inget sama Haykal kan?” terang Zara dengan lembut.

“Ya iyalah, Haykal kan Patrick dan gue Spongebob. Be-Ef-Ef.” Ia menekankan tiga huruf terakhir itu dengan mantap sambil melemparkan senyumnya yang mendadak bisa membuatku masuk IGD karena kehabisan napas. So breathtaking.

“Kamal,” ia mengulurkan tangan kanannya, mengajakku bersalaman. Oh, iya. Namanya Kamal. Kok bisa seamnesia ini sih. Well, mengingat kejadian puppy love dengannya kan ketika aku masih kelas satu SMP. Udah dua tahun dan minggu depan aku bakalan resmi memakai baju abu-abu putih.

“Kamal,” Kamal mengulang namanya sambil tersenyum. Khawatir aku tak mendengarnya karena aku masih dibuatnya terpana.

“Naz... Nazneen,” jawabku gugup. Sial, kenapa aku jadi kayak gini sih. Malu-maluin.

Secara tiba-tiba ia memajukan wajahnya mendekatiku dan bertanya, “Mana Haykal?”

“Di... di... sana...” masih dengan gugup, aku menunjuk segerombolan cowok termasuk Haykal di ujung dekat pintu. Sial, sial. Semoga Kamal nggak memerhatikan tingkahku. Aku ingin pulang.


***


Brukk!

Aku menjatuhkan diriku ke sofa ruang TV. Menarik napas karena ingin segera mengakhiri malam ini.

“Nggak nyesel kan, gue ajak ke pestanya Ratu.” Haykal nyengir kemudian menjatuhkan dirinya juga ke sofa tepat di sampingku.

“Ingetin gue buat nolak setiap ajakan lo kalau gue nggak dapet es krim untuk setiap undangan yang lo dapet.” Aku membela diri.

“Halah, taruhan deh, lo pasti bahagia kan malam ini. Waktu pulang tadi elo kan senyam-senyum sendiri. Pasti pas gue tinggal di pesta tadi lo udah dapet kejutan yang gue janjiin.” Haykal membuka jasnya lalu menyampirkannya ke pegangan sofa.

Hah? Maksud Haykal apaan sih? Masa Haykal sengaja mengajakku biar bisa bertemu dengan Kamal? Emang Haykal tahu kalau aku suka Kamal? Wah, gawat nih! Bisa masuk IGD nih. Tapi bukan karena senyumnya Haykal yang breathtaking, lebih karena omelan Haykal yang panjang lebar akan membuatku migrain setengah mati.

Memerhatikan wajahku yang tegang, Haykal berkomentar, “Kenapa lo diem aja? Elo nggak kebagian Eclair, ya tadi?” Haykalcemas.

Aku terkejut dan langsung menoleh padanya. Eclair? Aku bahkan nggak kepikiran soal Eclair.

“Beneran lo nggak dapat Eclair??” ulang Haykal tak percaya.

Aku tersenyum lega. Bukan Eclair yang membuatku bahagia malam ini, tapi Kamal. Dua tahun nggak ketemu karena ia melanjutkan studi ke luar negeri dan minggu depan aku bakal satu SMA dengannya itu udah lebih dari cukup. Lebih dari Eclair terlezat mana pun tentunya.

Memang harus kuakui, Haykal bener soal aku nggak nyesel udah diajak ke pestanya Ratu. Maka dengan segera kuraih tangannya dan mencium punggung tangannya seolah mencium tangan Bapak dan ibu Guru.

“Makasih ya.... Elo baiiik banget. Gue sayaaang banget sama elo” Asal kalian tahu, aku benar-benar tulus mengucapkannya.

Haykal hanya terkekeh.

Yang akan kulakukan adalah berdoa supaya aku dapat dengan cepat melewati malam ini, khususnya minggu ini.

Aku memperbaiki posisi dudukku, lebih dekat dengan Haykal sekarang, memejamkan mata sambil tersenyum bahagia. Kusandarkan kepalaku pada bahu Haykal, dan kemudian aku merasakan tangan Haykal bergerak meraih remot TV dan menyalakannya.


-Stars, chapter one-

9 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page