Tangannya bergerak meraih selimut namun tiba-tiba saja ia terjaga. Matanya menulusuri ruangan kamar kos yang gelap lalu tangan kanannya bergerak ke samping mencari posisi ponselnya. Ia mengusap layar dan mendapati penanda waktu di bagian ujung menunjukkan tepat pukul 00.00 WIB. Perempuan itu sadar bahwa tepat pada saat itu umurnya sudah tak lagi sama seperti satu menit sebelumnya. Ia sudah beranjak dewasa. Ketika ia hendak memutuskan untuk tidur lagi, ponsel di tangannya bergetar. Sebuah pesan dari sahabat sekolahnya muncul, mengucapkan selamat dan beberapa baris doa untuknya. Ia tersenyum, namun jauh dalam hatinya ia sedang menunggu ucapan dan doa dari orang lain.
Menjelang tengah hari, puluhan ucapan dan doa mengalir membanjiri timeline facebooknya. Di sela-sela kesibukannya membalas pesan, laptop di mejanya itu menimbulkan bunyi-bunyi nyaring menandakan pesan masuk. Beberapa menit kemudian, ponselnya bergetar tak henti. Semuanya berisi ucapan selamat dan doa. Betapa bahagianya ia mendapat puluhan doa hari itu. Namun sekali lagi, ia masih saja menunggu.
Pukul tiga sore, ketika ia bersiap-siap menuju perpustakaan, ponselnya bergetar lagi. Bukan, itu bukan pesan dari orang yang ditunggunya. Namun pesan itu membuatnya cukup terkejut tatkala ia membaca nama si pengirim, adik tingkatnya. Hatinya bertanya-tanya, bagaimana mungkin adik tingkatnya itu bisa tahu dan masih sempat-sempatnya mengirim sms di sela-sela kesibukannya mengikuti ujian akhir. Lalu ia tersadar bahwa mereka yang lebih memilih sms atau mengirim lewat chat mungkin ingin pesannya langsung dibaca olehnya. Sayangnya, orang yang ditunggu-tunggu hingga saat itu lebih memilih tidak dua-duanya.
Pada akhirnya, setelah lelah menunggu, ia pun pasrah. Bukan pasrah yang tulus namun lebih mengarah kepada kecewa. Orang yang ditunggu-tunggu itu, orang yang sudah dianggapnya sebagai sahabat terbaik meski pun baru berkenalan selama satu setengah tahun, orang yang hampir saja mencuri separuh hatinya, tetap saja tak muncul memberi pesan. Sudah puluhan kali ia mengingatkan dirinya, "Mungkin ia lupa. Mungkin ia sibuk. Mungkin." namun semuanya gagal. Ia sudah terlanjur kecewa. Ia bahkan masih menunggu sahabatnya itu sekadar mengucapkan 'happy belated birthday'. Terlambat, harapannya sudah pupus.
Perempuan itu hanya tak tahu, bahwa orang yang ditunggu-tunggu itu sebenarnya memberi ucapan lebih dari yang ia minta. Lelaki yang juga menganggap si perempuan sebagai sahabat itu sudah lebih dahulu mengucapkan doa dibandingkan orang lain. Si lelaki paham betul apa yang diinginkan sahabat perempuannya itu. Bukankah sahabat perempuannya itu berkali-kali mengutip penulis favoritnya bahwa teman baik tidak diukur dari banyaknya komunikasi, tapi dari banyaknya doa yang diam-diam dipanjatkan? Sahabat perempuannya itu hanya tak tahu.
Kediri, Juli 2014.
Comments